Reza Indragiri Amriel: Peringatan untuk PKS!

Peringatan untuk PKS

Jum’at, 08 Februari 2013 | 09:23 WIB

http://www.tempo.co/read/kolom/2013/02/08/645/Peringatan-untuk-PKS

Image
Photo Reza Indragiri Amriel

TEMPO.CO – Dengan memiliki sekian banyak sahabat yang menjadi pekerja politik ataupun simpatisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), saya sadar benar bahwa tulisan ini sedikit-banyak akan mengusik kehangatan pertemanan kami. Namun saya “tak peduli”!

PKS dilanda prahara, bagi saya, tak terlalu mengganggu ketenangan. Yang paling merisaukan, bahkan menyedihkan, adalah karena operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap LHI benar-benar mencoreng Islam—agama saya—sebagai agama yang mengharamkan perilaku mencuri, termasuk korupsi.

Islam melarang pencurian. Islam membenci kerakusan. Dan korupsi, sebagai kejahatan luar biasa, adalah wujud bersimpulnya kerakusan dan pencurian. Lantas, ke mana bisa bersembunyi dan bagaimana bisa berdalih andaikan ada orang yang menuding-nuding Islam, ketika tragisnya orang nomor satu—berarti figur paling ideal—di partai politik Islam, justru digiring mengenakan jaket putih KPK masuk ke hotel prodeo. Jargon praduga tak bersalah pun terdengar seperti sampah karena, faktanya, tingkat keberhasilan KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi mencapai 100 persen. Dan saya tidak ingin prestasi fantastis itu kini tercemar akibat kegagalan KPK dalam mengusut kasus ekspor sapi dengan LHI sebagai salah seorang tersangkanya.

Walau sama-sama mengusung idealisme antikorupsi, secara personal ada harapan lebih bahwa partai-partai Islam jauh lebih tegas dibanding partai-partai sekuler ketika ada jajarannya yang diciduk KPK karena diduga terlibat dalam korupsi. Tapi, yang teramat sangat mengecewakan, PKS ternyata tetap menampilkan watak defensif tak ubahnya partai-partai lain. Partai yang merupakan jelmaan Partai Keadilan itu tidak cukup perkasa untuk mengelak dari kejangkitan bias kognitif.

Hal itu dimulai dari jajaran terasnya yang—sadar ataupun tak sadar—menampilkan hindsight bias. Bias ini ditandai oleh keyakinan bahwa situasi yang berlangsung sebenarnya telah diperkirakan sebelumnya. Itulah yang bisa disimpulkan ketika salah seorang petinggi PKS mengatakan bahwa PKS “sebenarnya” sudah menduga bahwa akan terjadi serangan terhadap partai tersebut.

Bias semacam itu bisa ditangkis dengan balik mempertanyakan apa yang sudah PKS lakukan seandainya mereka memang telah mengetahui bahwa dirinya menjadi sasaran operasi hitam. Apakah pernah LHI diperiksa, atau paling tidak sebatas dicurigai, oleh para elite PKS? Selain itu, apa strategi yang sudah PKS bangun untuk mengantisipasi kemungkinan (kini telah menjadi kenyataan) datangnya musuh? Jika ketiga pertanyaan itu tidak terjawab, maka ada dua spekulasi. Pertama, PKS tidak memiliki kesiapan untuk membersihkan dirinya sendiri sekaligus ketidakmampuan menolak serangan pihak eksternal. Atau kedua, itu tadi, PKS mengalami hindsight bias sehingga berdalih "sudah menduga" datangnya sesuatu yang sesungguhnya tidak mereka sangka sama sekali.

Segendang sepenarian, kalangan simpatisan PKS pun sama resistannya dengan para pengurus elite partai tersebut. Secara berantai melalui media sosial, mereka menyebarluaskan pesan tandingan yang justru mencerminkan atribut bias. Bias kognitif yang satu ini bertitik tolak dari pertanyaan tentang asal-muasal atau penyebab terjadinya suatu peristiwa. Wujudnya adalah, ketika berhadapan dengan situasi menguntungkan, individu atau kelompok mengklaim dirinya sendiri (di posisi) sebagai pihak penyebab terjadinya situasi tersebut. [b]Tapi, manakala terjerembap dalam situasi merugikan, individu atau kelompok mencari-cari unsur di luar dirinya (situasi) sebagai biang keladi kenyataan pahit tersebut.[/b]

"Ente jual, ane beli", "CIA beraksi", "Zionis menantang perang", dan ekspresi-ekspresi emosional lainnya yang dilantangkan para simpatisan PKS merupakan cerminan atribut bias tersebut. Anehnya, walau sangat yakin akan teori konspirasi, tidak ada satu pun elaborasi tentang apa yang “ente” (musuh) jual, di sebelah mana CIA melancarkan aksinya, dan apa bunyi tantangan Zionis.

Bukan berarti saya menolak mentah-mentah alibi tentang CIA dan Zionis. Sejak SMA, saya sudah membaca banyak publikasi tentang operasi-operasi klandestin yang dilancarkan CIA dan Zionis Israel. Tapi, dengan mengedepankan rasionalitas, saya membutuhkan data sebelum sampai pada keyakinan bahwa kedua pihak tersebut memang sedang mengobrak-abrik PKS. Anggaplah LHI adalah orang bersih. Tapi AF, yang disebut-sebut sebagai orang kepercayaan LHI (sehingga diyakini juga sebagai pendukung PKS), diciduk KPK ketika sedang berduaan di kamar hotel dengan perempuan yang bukan muhrimnya.

Subjective presumption sesungguhnya manusiawi. Tiap orang pada dasarnya sudah memiliki skema mental yang berfungsi sebagai kacamata saat mempersepsikan keadaan. Jadi, pada tahap-tahap awal, individu ataupun kelompok bisa saja secara otomatis langsung menaruh syak wasangka sedemikian rupa sesuai dengan skema mentalnya atas kejadian yang menimpa dirinya. Namun, terhadap partai yang dari masa ke masa terus mengasosiasikan diri dengan kalangan terdidik dan religius, publik—atau setidaknya saya—berharap PKS bisa cerdas dan segera mengoreksi bias-bias kognitif yang memerangkapnya.

Mulut akan menguap lebar-lebar saat menyimak PKS ternyata tetap memakai argumen-argumen emosional usang berjudul "ironi viktimisasi", seperti yang biasa dipakai partai-partai lain. Perlu satu pelurusan berpikir: agenda utama ke depan bukan menyelamatkan partai. Apalagi mengamankan satu-dua tokoh partai. Menangkal agar Islam tidak dihina-dinakan adalah keharusan yang dipentingkan. Sungguh tugas yang sangat besar untuk memastikan agar semakin banyak orang yang berpikiran jernih sehingga tidak membuat kesimpulan jorok tentang Islam.

Saya menyayangi sahabat-sahabat saya yang terpanggil menjadi pengurus ataupun simpatisan PKS. Saya juga mencintai adik-adik saya, personel-personel Polri yang pernah berkuliah psikologi forensik di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian dan kini mengabdi di KPK. Saya tidak akan memposisikan mereka pada dua kutub yang berhadap-hadapan. Saya tidak akan memilih satu di antara dua.

Kita—saya, sahabat-sahabat saya, dan adik-adik saya—berada di satu saf yang sama. Rapatkan, luruskan, kita perangi korupsi bersama-sama, siapa pun cecunguknya! Di situlah penentu keabsahan kata "kita"! *

Reza Indragiri Amriel, Anggota Asosiasi Psikologi Islami, Penerima Asian Public Intellectual Fellowship

Faithfreedom Indonesia
Faithfreedom forum static

Tinggalkan komentar